Senin, 12 November 2012

Kisah Pendidikan Menarik


 

 

CERITA PENDIDIKAN

Malu, Fitri (siswi miskin yg di jemur krn gak Seragam) Tinggalkan SMP 37 Surabaya
Sabtu, 17 September 2011 | 08:52 WIB
SURABAYA l SURYA Online- Orangtua Fitri Ayu Prasetyo (12), siswi kelas II SMPN 37 Surabaya, kalut, saat kasus penjemuran anaknya mencuat di media dan anaknya jadi bahan olokan. Jumat (16/9), mereka memutuskan kembali ke kampung halaman di Lumajang.
Sekitar pukul 09.00 WIB, pasutri Untung Budi Raharjo (40) dan Ny Nurul Latifah (35), dan dua anaknya, termasuk Fitri Ayu Prasetya, sudah berada di Teminal Bungurasih, Jumat (16/9).
“Saya mau kembali ke kampung halaman saja, Pak,” ujar Untung Budi Raharjo yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak ini.
Untung dan istri memutuskan pergi ke Lumajang setelah anaknya Fitri tak mau pergi ke sekolah, Jumat (16/9), karena diejek guru dan teman-temannya. Mendapati anaknya murung, pikiran Untung kalut. Hingga akhirnya memutuskan pulang ke kampung halaman.
Diberitakan sebelumnya, Fitri bersama sejumlah rekannya dihukum berdiri di tengah para peserta upacara selama sekitar 45 menit, Senin (12/9). Ia dihukum karena tidak mengenakan atribut sekolah baru. Ia masih mengenakan seragam lama, yang dipakai saat duduk di kelas I.
Sepulang sekolah, Fitri menangis. Ia bersedih kenapa masih dihukum, padahal sehari sebelumnya ia telah menjelaskan kepada pihak sekolah bahwa orangtuanya masih belum mampu membelikan pakaian seragam sekolah yang baru lengkap dengan atributnya.
Begitu berita penjemuran ini mencuat di media massa, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mendesak kepada pihak Dinas Pendidikan dan sekolah untuk menuntaskan masalah ini. “Saya langsung diminta Bu Wali (Wali Kota Tri Rismaharini) untuk menyelesaikan masalah ini. Tidak hanya Fitri, siswa lain yang tidak mampu juga akan kami selesaikan,” kata Kepala SMPN 37 Shohibur Rachman kepada Surya, Kamis (15/9).
Rachman mengaku ditelepon langsung oleh wali kota karena persoalan menyangkut siswa miskin ini sangat sensitif, mengingat Surabaya telah mengangggarkan Rp 1,5 triliun khusus untuk pendidikan.
Saat kasus ini mencuat di media, Rachman mengaku sempat kaget, karena ternyata Fitri luput dari pendataan. Sebagai siswa miskin, katanya, semestinya, Fitri bisa mendapatkan bantuan seragam dari sekolah. Oleh karena itu, ia mengungkapkan, seluruh guru diminta untuk melakukan pendataan siswa keluarga miskin dengan cermat.
“Jelas tidak mudah kalau harus memantau ratusan siswa. Namun kami sudah minta seluruh guru mendata setiap siswa kurang mampu,” kata Rachman.
Menurutnya, terkadang siswa juga enggan jujur untuk menjelaskan kondisi keluarganya. “Ini kadang kendalanya. Tapi tetap saya minta, seluruh guru proaktif. Kami menyediakan bantuan setiap jenjang kelas sekitar Rp 15 juta untuk membantu seragam siswa gakin,” lanjut Rachman.
Setelah Rachman ditelepon wali kota itu, Fitri mendapatkan pakaian seragam baru. Baju batik, pakaian olahraga, dan badge baru. Dia diajak salah satu guru ke ruang koperasi. Namun saat menyerahkan seragam sekolah gratis, kata Fitri, guru ini mengeluarkan kata-kata yang menyinggung perasaan.
Fitri disindir telah menjadi artis karena terkenal di media. Tak hanya guru ini yang meledek, teman-temannya juga demikian. Ejekan itulah yang membuatnya tak masuk sekolah, Jumat (16/9). “Anak saya tidak berani sekolah lagi karena dikatakan sekarang jadi artis. Teman-temannya menyindir,” ujar Untung.
Sekitar pukul 05.30 WIB, keluarga yang secara sosial belum beruntung ini memilih meninggalkan rumah sederhananya di Sidokapasan Gang IV/17, Surabaya. Bersama istri dan dua anaknya, lengkap dengan bekal pakaian, ia menuju Terminal Purabaya.
Beruntung mereka bertemu dengan Surya. “Saya takut Pak, karena saya ini orang bodoh. Biarkan Fitri sekolah di desa saja,” ujar Ny Nurul Latifah. Setelah diyakinkan dengan berbagai argumentasi bahwa Fitri akan bisa bersekolah lagi dengan tenang, akhirnya hati Untung dan istrinya melunak. Mereka membatalkan kepergiannya ke Lumajang.
Qomari Soleh, dari Tim Dinas Pendidikan yang juga Pengawas Pembina SMP mewakili sekolah mengakui bahwa keluarga Fitri yang memang kurang beruntung dari sisi ekonimi ini berada dalam tekanan. “Tapi, kami akan pastikan dan terus dekati keluarga Untung agar Fitri tetap bersekolah. Mereka hanya ingin menenangkan diri. Senin sudah kita pastikan, Fitri bisa kembali ke sekolah,” tegasnya.
Plt Kepala Dindik Surabaya Muhammad Taswin juga menyatakan, siap menciptakan suasana nyaman supaya Fitri bisa bersekolah lagi. “Kami dan sekolah tidak melarang Fitri masuk. Kami justru akan melindungi. Kasihan dia. Kami akan menjamin kelangsungan pendidikan Fitri. Tak usah dibesar-besarkanlah,” pintanya.
Mengenai pakaian seragam, Taswin menyatakan, tidak ada paksaan harus membeli yang baru. Juga tak ada paksaan harus beli di sekolah.
Hal senada juga diungkapkan Ketua II Dewan Pendidikan Surabaya Isa Ansori. Kasus seragam sekolah, katanya, tak hanya terjadi di SMPN 37. Sekolah selalu meminta siswanya membeli seragam di sekolah, meski tak ada paksaan.
“Hanya saja, sesuai amanat Perda Pendidikan di Surabaya, pemerintah harus menjamin agar siswa dapat belajar dengan nyaman dan aman. Tidak boleh ada guru atau siswa yang mengejek. Suasana nyaman itu menjadi tugas pemerintah,” tegas Isa Ansori.
Anggota Komisi D DPRD Surabaya Eddy Budi Prabowo mengatakan, pihak sekolah tidak boleh memaksa siswa kurang mampu membeli seragam baru. Kalau hanya diganti betnya saja tidak masalah. “Saya sangat menyesalkan hukuman (terhadap Fitri dan kawan-kawan) itu. Ini bukan zamannya,” tutur Eddy yang populer disebut Eddy Embun ini.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jatim Agus Widyarta meminta pihak sekolah bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukan terhadap Fitri. Hukuman jemur adalah tindakan kurang bagus. Sebelum menghukum, semestinya pihak sekolah menelusuri dulu, apakah siswa melanggar karena nakal atau tidak mampu secara ekonomi.
Kalau tidak demikian, siswa bisa malu karena menjadi bahan olok-olokan teman-temannya. Dan tidak menutup kemungkinan, dia juga malu datang kembali ke sekolah. Kasus Fitri ini menunjukkan sekolah dan Dinas Pendidikan sudah melakukan kesalahan karena tidak memberi bantuan kepada anak didik, melainkan malah menjemurnya.
“Negara ini sudah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun. Nah, seharusnya pemerintah menyediakan semua fasilitas yang diperlukan siswa. Itu tanggungjawab pemerintah,” ujar Agus.
Kepala SMPN 37, tambah Agus, sebaiknya mendatangi Fitri dan keluarganya untuk minta maaf. Karena kondisi itu disebabkan oleh sekolah, dalam hal ini kepanjangan tangan dari Pemkot kurang bagus memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Mengenai wajib mengenakan seragam baru, sebaiknya pihak sekolah tidak boleh memaksa. Apalagi menarik biaya sebesar seperti di SMPN 37, Rp 350.000. Dengan program wajib belajar itu, pemkot wajib pula menyediakan kebutuhan siswa. Tidak boleh pihak sekolah minta uang kepada murid. Seandainya pemerintah tidak mampu menyediakan kebutuhan itu, tidak usah ada program mewajibkan itu.
Pungutan paksa ini tidak hanya dialami siswa SMPN 37, di Surabaya ada beberapa sekolah juga melakukan hal sama. Oleh karena itu, Ombudsman yang bertugas mengawasi pelayanan kepada masyarakat ini akan minta keterangan kepada beberapa sekolah yang mewajibkan biaya kepada siswa kurang mampu. Kasus seperti ini pernah terjadi di Sidoarjo.
Kepada media massa, Kepala SMP 37 Shohibur Rachman menegaskan bahwa Fitri dihukum jemur bukan karena tidak mengenakan seragam sekolah baru, melainkan karena tidak memakai badge baru berupa tulisan jenjang kelas. “Yang kami hukum karena indisipliner itu juga tidak hanya Fitri. Ada 35 siswa yang lain. Bukan belasan,” kata Rachman.
Fitri kedapatan masih mengenakan babge lama (badge bertuliskan kelas I). Seharusnya tertulis kelas dua. Karena ramai di media, SMPN 37 akhirnya memberikan badge gratis.
Kepada Surya, Untung sebelumnya mengaku keberatan kalau harus membeli badge seharga Rp 27.000. “Bagi saya, uang Rp 27.000 berat juga,” kata Untung.
Tak Mampu Beli Seragam Baru, siswi miskin di jemur.
SURABAYA, – Fitri Ayu Prasetyo, siswi kelas II SMPN 37 Surabaya, benar-benar tak mampu membeli seragam sekolah baru yang dilengkapi dengan badge dan logo sekolahnya. Ia pun dihukum berdiri di tengah ratusan peserta upacara bendera di sekolah itu.
Meski hukuman jemur pada Senin (12/9/2011) itu dijalani bersama belasan siswa lain dan hanya selama 45 menit, Ayu mengaku terpukul, karena merasa keluhannya kepada sekolah tidak diperhatikan.
“Saat upacara, saya diminta ke depan barisan karena badge saya tidak baru. Saya takut karena kalau tidak beli orangtua saya akan dipanggil,” kata Fitri, Rabu (14/9/2011).
Fitri mengungkapkan, saat dihukum, seorang guru mengancam akan memanggil orangtuanya kalau tiga kali lagi dipergoki masih berseragam lama.
Saat kenaikan kelas, ia sudah mencoba menjelaskan kepada pihak sekolah bahwa orangtuanya belum mampu membelikan seragam lengkap. Tetapi, penjelasannya itu tidak dipedulikan, hingga akhirnya ia dihukum saat upacara berlangsung.
Sepulang sekolah, Senin lalu, Fitri menangis sepulang dari sekolah. “Saya kaget, Fitri menangis. Ia mengaku dihukum karena bet (badge) seragamnya tak baru. Saya tidak kuat membelinya,” kata ayah Fitri, Untung Budi Raharjo.
Penarik becak ini mengaku, untuk datang ke sekolah dan menjelaskan kondisinya, ia tidak berani. Ia mengaku pusing begitu tahu harga kelengkapan seragam anaknya.
Kelengkapan itu, antara lain, baju batik seharga Rp 55.000, seragam olahraga Rp 65.000, seragam laboratorium Rp 30.000, kaus kaki 16.000, logo sekolah dan badge Rp 16.000, dan paket seragam lain. Selain seragam, siswa juga harus membayar kartu identitas dan asuransi Rp 25.000, pas foto, dan lembar jawaban komputer Rp 27.000. Daftar ‘belanja’ itu totalnya mencapai Rp 350.000.
Baik Untung maupun Nurul heran, mengapa seluruh siswa diwajibkan membeli seragam baru. Padahal, baju batik dan seragam olahraga yang lama masih layak digunakan.
Keluarga ini tinggal di sebuah rumah papan warisan keluarga di Jl Sidokapasan IV. Di dindingnya tertempel stiker tanda penghuninya keluarga miskin. Lantai semen juga sekaligus menjadi tempat tidur bagi keluarga itu Tanggapan pihak sekolah
Kepala SMPN 37, Shohibur Rachman berdalih, hukuman yang diberikan kepada Fitri dan siswa lainnya merupakan upaya penegakan disiplin.
Shohibur mengatakan, pihak sekolah tengah mendata siswa miskin yang berhak mendapatkan seragam baru gratis. “Ada dana khusus untuk itu siswa miskin dari kelas satu hingga kelas tiga. Tiap jenjang mendapat jatah Rp 15 juta yang diambilkan dari keuntungan koperasi,” ujarnya.
http://edukasi.kompas.com/read/2011/09/15/10483868/Tak.Mampu.Beli.Seragam.Baru..Sisiwa.Miskin.Dijemur
Hukum Siswa Tak Beli Seragam
Kepsek: Siswa Miskin Lolos Pendataan
JAKARTA, – Kepala SMPN 37 Surabaya, Shohibur Rachman mengaku kaget saat mengetahui bahwa salah seorang siswa kelas II di sekolah yang dipimpinnya, Fitri Ayu, berasal dari keluarga tidak mampu. Rachman mengaku, Fitri luput dari pendataan sekolah. Pada Senin lalu, Fitri mendapatkan hukuman “jemur” karena masih menggunakan seragam lama. Ia tak mampu membeli seragam baru yang diwajibkan pihak sekolah.
Rachman mengatakan, sebagai siswa miskin, Fitri bisa mendapatkan bantuan seragam dari sekolah. Oleh karena itu, ia mengungkapkan, seluruh guru diminta untuk melakukan pendataan siswa keluarga miskin dengan cermat.
“Jelas tidak mudah kalau harus memantau ratusan siswa. Namun, kami sudah minta seluruh guru mendata setiap siswa kurang mampu,” kata Rachman, Kamis (15/9/2011).
Menurutnya, terkadang siswa juga enggan jujur untuk menjelaskan kondisi keluarganya.
“Ini kadang kendalanya. Tapi tetap saya minta, seluruh guru proaktif. Kami menyediakan bantuan setiap jenjang kelas sekitar Rp 15 juta untuk membantu seragam siswa gakin,” lanjut Rachman.
Saat naik dari kelas satu, Fitri diminta membeli seragam baru. Karena tak mampu, siswa miskin ini tak mengenakan seragam baru saat upacara sekolah. Badge atau tanda lokasi pada lengan seragam masih badge lama, yang tertulis “kelas satu”. Tanda ini sebagai pembeda jenjang kelas. Karena ketahuan gurunya, anak penarik becak ini dijemur bersama belasan siswa lain.
Sebelumnya, Fitri mengaku sudah mencoba menjelaskan kepada pihak sekolah saat kenaikan kelas bahwa orangtuanya belum mampu membelikan seragam lengkap. Tetapi, penjelasannya itu tidak dipedulikan, hingga akhirnya ia dihukum saat upacara berlangsung.
Sementara itu, hingga saat ini, baik pihak sekolah maupun pihak Dinas Pendidikan Surabaya belum bisa dikonfirmasi lebih jauh mengenai aturan baku seragam sekolah tersebut.
“Sebaiknya ke Kepala Dinas saja,” ujar Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Surabaya, Eko Setyaningsih.