CERITA PENDIDIKAN
Malu, Fitri (siswi miskin yg di jemur krn gak Seragam) Tinggalkan SMP 37 Surabaya
Sabtu, 17 September 2011 | 08:52 WIB
SURABAYA l SURYA Online- Orangtua Fitri Ayu Prasetyo (12), siswi
kelas II SMPN 37 Surabaya, kalut, saat kasus penjemuran anaknya mencuat
di media dan anaknya jadi bahan olokan. Jumat (16/9), mereka memutuskan
kembali ke kampung halaman di Lumajang.
Sekitar pukul 09.00 WIB, pasutri Untung Budi Raharjo (40) dan Ny
Nurul Latifah (35), dan dua anaknya, termasuk Fitri Ayu Prasetya, sudah
berada di Teminal Bungurasih, Jumat (16/9).
“Saya mau kembali ke kampung halaman saja, Pak,” ujar Untung Budi Raharjo yang sehari-hari bekerja sebagai tukang becak ini.
Untung dan istri memutuskan pergi ke Lumajang setelah anaknya Fitri
tak mau pergi ke sekolah, Jumat (16/9), karena diejek guru dan
teman-temannya. Mendapati anaknya murung, pikiran Untung kalut. Hingga
akhirnya memutuskan pulang ke kampung halaman.
Diberitakan sebelumnya, Fitri bersama sejumlah rekannya dihukum
berdiri di tengah para peserta upacara selama sekitar 45 menit, Senin
(12/9). Ia dihukum karena tidak mengenakan atribut sekolah baru. Ia
masih mengenakan seragam lama, yang dipakai saat duduk di kelas I.
Sepulang sekolah, Fitri menangis. Ia bersedih kenapa masih dihukum,
padahal sehari sebelumnya ia telah menjelaskan kepada pihak sekolah
bahwa orangtuanya masih belum mampu membelikan pakaian seragam sekolah
yang baru lengkap dengan atributnya.
Begitu berita penjemuran ini mencuat di media massa, Wali Kota
Surabaya Tri Rismaharini mendesak kepada pihak Dinas Pendidikan dan
sekolah untuk menuntaskan masalah ini. “Saya langsung diminta Bu Wali
(Wali Kota Tri Rismaharini) untuk menyelesaikan masalah ini. Tidak hanya
Fitri, siswa lain yang tidak mampu juga akan kami selesaikan,” kata
Kepala SMPN 37 Shohibur Rachman kepada Surya, Kamis (15/9).
Rachman mengaku ditelepon langsung oleh wali kota karena persoalan
menyangkut siswa miskin ini sangat sensitif, mengingat Surabaya telah
mengangggarkan Rp 1,5 triliun khusus untuk pendidikan.
Saat kasus ini mencuat di media, Rachman mengaku sempat kaget, karena
ternyata Fitri luput dari pendataan. Sebagai siswa miskin, katanya,
semestinya, Fitri bisa mendapatkan bantuan seragam dari sekolah. Oleh
karena itu, ia mengungkapkan, seluruh guru diminta untuk melakukan
pendataan siswa keluarga miskin dengan cermat.
“Jelas tidak mudah kalau harus memantau ratusan siswa. Namun kami
sudah minta seluruh guru mendata setiap siswa kurang mampu,” kata
Rachman.
Menurutnya, terkadang siswa juga enggan jujur untuk menjelaskan
kondisi keluarganya. “Ini kadang kendalanya. Tapi tetap saya minta,
seluruh guru proaktif. Kami menyediakan bantuan setiap jenjang kelas
sekitar Rp 15 juta untuk membantu seragam siswa gakin,” lanjut Rachman.
Setelah Rachman ditelepon wali kota itu, Fitri mendapatkan pakaian
seragam baru. Baju batik, pakaian olahraga, dan badge baru. Dia diajak
salah satu guru ke ruang koperasi. Namun saat menyerahkan seragam
sekolah gratis, kata Fitri, guru ini mengeluarkan kata-kata yang
menyinggung perasaan.
Fitri disindir telah menjadi artis karena terkenal di media. Tak
hanya guru ini yang meledek, teman-temannya juga demikian. Ejekan itulah
yang membuatnya tak masuk sekolah, Jumat (16/9). “Anak saya tidak
berani sekolah lagi karena dikatakan sekarang jadi artis. Teman-temannya
menyindir,” ujar Untung.
Sekitar pukul 05.30 WIB, keluarga yang secara sosial belum beruntung
ini memilih meninggalkan rumah sederhananya di Sidokapasan Gang IV/17,
Surabaya. Bersama istri dan dua anaknya, lengkap dengan bekal pakaian,
ia menuju Terminal Purabaya.
Beruntung mereka bertemu dengan Surya. “Saya takut Pak, karena saya
ini orang bodoh. Biarkan Fitri sekolah di desa saja,” ujar Ny Nurul
Latifah. Setelah diyakinkan dengan berbagai argumentasi bahwa Fitri akan
bisa bersekolah lagi dengan tenang, akhirnya hati Untung dan istrinya
melunak. Mereka membatalkan kepergiannya ke Lumajang.
Qomari Soleh, dari Tim Dinas Pendidikan yang juga Pengawas Pembina
SMP mewakili sekolah mengakui bahwa keluarga Fitri yang memang kurang
beruntung dari sisi ekonimi ini berada dalam tekanan. “Tapi, kami akan
pastikan dan terus dekati keluarga Untung agar Fitri tetap bersekolah.
Mereka hanya ingin menenangkan diri. Senin sudah kita pastikan, Fitri
bisa kembali ke sekolah,” tegasnya.
Plt Kepala Dindik Surabaya Muhammad Taswin juga menyatakan, siap
menciptakan suasana nyaman supaya Fitri bisa bersekolah lagi. “Kami dan
sekolah tidak melarang Fitri masuk. Kami justru akan melindungi. Kasihan
dia. Kami akan menjamin kelangsungan pendidikan Fitri. Tak usah
dibesar-besarkanlah,” pintanya.
Mengenai pakaian seragam, Taswin menyatakan, tidak ada paksaan harus
membeli yang baru. Juga tak ada paksaan harus beli di sekolah.
Hal senada juga diungkapkan Ketua II Dewan Pendidikan Surabaya Isa
Ansori. Kasus seragam sekolah, katanya, tak hanya terjadi di SMPN 37.
Sekolah selalu meminta siswanya membeli seragam di sekolah, meski tak
ada paksaan.
“Hanya saja, sesuai amanat Perda Pendidikan di Surabaya, pemerintah
harus menjamin agar siswa dapat belajar dengan nyaman dan aman. Tidak
boleh ada guru atau siswa yang mengejek. Suasana nyaman itu menjadi
tugas pemerintah,” tegas Isa Ansori.
Anggota Komisi D DPRD Surabaya Eddy Budi Prabowo mengatakan, pihak
sekolah tidak boleh memaksa siswa kurang mampu membeli seragam baru.
Kalau hanya diganti betnya saja tidak masalah. “Saya sangat menyesalkan
hukuman (terhadap Fitri dan kawan-kawan) itu. Ini bukan zamannya,” tutur
Eddy yang populer disebut Eddy Embun ini.
Kepala Perwakilan Ombudsman Jatim Agus Widyarta meminta pihak sekolah
bertanggungjawab atas apa yang telah dilakukan terhadap Fitri. Hukuman
jemur adalah tindakan kurang bagus. Sebelum menghukum, semestinya pihak
sekolah menelusuri dulu, apakah siswa melanggar karena nakal atau tidak
mampu secara ekonomi.
Kalau tidak demikian, siswa bisa malu karena menjadi bahan
olok-olokan teman-temannya. Dan tidak menutup kemungkinan, dia juga malu
datang kembali ke sekolah. Kasus Fitri ini menunjukkan sekolah dan
Dinas Pendidikan sudah melakukan kesalahan karena tidak memberi bantuan
kepada anak didik, melainkan malah menjemurnya.
“Negara ini sudah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun. Nah,
seharusnya pemerintah menyediakan semua fasilitas yang diperlukan siswa.
Itu tanggungjawab pemerintah,” ujar Agus.
Kepala SMPN 37, tambah Agus, sebaiknya mendatangi Fitri dan
keluarganya untuk minta maaf. Karena kondisi itu disebabkan oleh
sekolah, dalam hal ini kepanjangan tangan dari Pemkot kurang bagus
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Mengenai wajib mengenakan seragam baru, sebaiknya pihak sekolah tidak
boleh memaksa. Apalagi menarik biaya sebesar seperti di SMPN 37, Rp
350.000. Dengan program wajib belajar itu, pemkot wajib pula menyediakan
kebutuhan siswa. Tidak boleh pihak sekolah minta uang kepada murid.
Seandainya pemerintah tidak mampu menyediakan kebutuhan itu, tidak usah
ada program mewajibkan itu.
Pungutan paksa ini tidak hanya dialami siswa SMPN 37, di Surabaya ada
beberapa sekolah juga melakukan hal sama. Oleh karena itu, Ombudsman
yang bertugas mengawasi pelayanan kepada masyarakat ini akan minta
keterangan kepada beberapa sekolah yang mewajibkan biaya kepada siswa
kurang mampu. Kasus seperti ini pernah terjadi di Sidoarjo.
Kepada media massa, Kepala SMP 37 Shohibur Rachman menegaskan bahwa
Fitri dihukum jemur bukan karena tidak mengenakan seragam sekolah baru,
melainkan karena tidak memakai badge baru berupa tulisan jenjang kelas.
“Yang kami hukum karena indisipliner itu juga tidak hanya Fitri. Ada 35
siswa yang lain. Bukan belasan,” kata Rachman.
Fitri kedapatan masih mengenakan babge lama (badge bertuliskan kelas
I). Seharusnya tertulis kelas dua. Karena ramai di media, SMPN 37
akhirnya memberikan badge gratis.
Kepada Surya, Untung sebelumnya mengaku keberatan kalau harus membeli
badge seharga Rp 27.000. “Bagi saya, uang Rp 27.000 berat juga,” kata
Untung.
Tak Mampu Beli Seragam Baru, siswi miskin di jemur.
SURABAYA, – Fitri Ayu Prasetyo, siswi kelas II SMPN 37 Surabaya,
benar-benar tak mampu membeli seragam sekolah baru yang dilengkapi
dengan badge dan logo sekolahnya. Ia pun dihukum berdiri di tengah
ratusan peserta upacara bendera di sekolah itu.
Meski hukuman jemur pada Senin (12/9/2011) itu dijalani bersama
belasan siswa lain dan hanya selama 45 menit, Ayu mengaku terpukul,
karena merasa keluhannya kepada sekolah tidak diperhatikan.
“Saat upacara, saya diminta ke depan barisan karena badge saya tidak
baru. Saya takut karena kalau tidak beli orangtua saya akan dipanggil,”
kata Fitri, Rabu (14/9/2011).
Fitri mengungkapkan, saat dihukum, seorang guru mengancam akan
memanggil orangtuanya kalau tiga kali lagi dipergoki masih berseragam
lama.
Saat kenaikan kelas, ia sudah mencoba menjelaskan kepada pihak
sekolah bahwa orangtuanya belum mampu membelikan seragam lengkap.
Tetapi, penjelasannya itu tidak dipedulikan, hingga akhirnya ia dihukum
saat upacara berlangsung.
Sepulang sekolah, Senin lalu, Fitri menangis sepulang dari sekolah.
“Saya kaget, Fitri menangis. Ia mengaku dihukum karena bet (badge)
seragamnya tak baru. Saya tidak kuat membelinya,” kata ayah Fitri,
Untung Budi Raharjo.
Penarik becak ini mengaku, untuk datang ke sekolah dan menjelaskan
kondisinya, ia tidak berani. Ia mengaku pusing begitu tahu harga
kelengkapan seragam anaknya.
Kelengkapan itu, antara lain, baju batik seharga Rp 55.000, seragam
olahraga Rp 65.000, seragam laboratorium Rp 30.000, kaus kaki 16.000,
logo sekolah dan badge Rp 16.000, dan paket seragam lain. Selain
seragam, siswa juga harus membayar kartu identitas dan asuransi Rp
25.000, pas foto, dan lembar jawaban komputer Rp 27.000. Daftar
‘belanja’ itu totalnya mencapai Rp 350.000.
Baik Untung maupun Nurul heran, mengapa seluruh siswa diwajibkan
membeli seragam baru. Padahal, baju batik dan seragam olahraga yang lama
masih layak digunakan.
Keluarga ini tinggal di sebuah rumah papan warisan keluarga di Jl
Sidokapasan IV. Di dindingnya tertempel stiker tanda penghuninya
keluarga miskin. Lantai semen juga sekaligus menjadi tempat tidur bagi
keluarga itu Tanggapan pihak sekolah
Kepala SMPN 37, Shohibur Rachman berdalih, hukuman yang diberikan
kepada Fitri dan siswa lainnya merupakan upaya penegakan disiplin.
Shohibur mengatakan, pihak sekolah tengah mendata siswa miskin yang
berhak mendapatkan seragam baru gratis. “Ada dana khusus untuk itu siswa
miskin dari kelas satu hingga kelas tiga. Tiap jenjang mendapat jatah
Rp 15 juta yang diambilkan dari keuntungan koperasi,” ujarnya.
http://edukasi.kompas.com/read/2011/09/15/10483868/Tak.Mampu.Beli.Seragam.Baru..Sisiwa.Miskin.Dijemur
Hukum Siswa Tak Beli Seragam
Kepsek: Siswa Miskin Lolos Pendataan
JAKARTA, – Kepala SMPN 37 Surabaya, Shohibur Rachman mengaku kaget
saat mengetahui bahwa salah seorang siswa kelas II di sekolah yang
dipimpinnya, Fitri Ayu, berasal dari keluarga tidak mampu. Rachman
mengaku, Fitri luput dari pendataan sekolah. Pada Senin lalu, Fitri
mendapatkan hukuman “jemur” karena masih menggunakan seragam lama. Ia
tak mampu membeli seragam baru yang diwajibkan pihak sekolah.
Rachman mengatakan, sebagai siswa miskin, Fitri bisa mendapatkan
bantuan seragam dari sekolah. Oleh karena itu, ia mengungkapkan, seluruh
guru diminta untuk melakukan pendataan siswa keluarga miskin dengan
cermat.
“Jelas tidak mudah kalau harus memantau ratusan siswa. Namun, kami
sudah minta seluruh guru mendata setiap siswa kurang mampu,” kata
Rachman, Kamis (15/9/2011).
Menurutnya, terkadang siswa juga enggan jujur untuk menjelaskan kondisi keluarganya.
“Ini kadang kendalanya. Tapi tetap saya minta, seluruh guru proaktif.
Kami menyediakan bantuan setiap jenjang kelas sekitar Rp 15 juta untuk
membantu seragam siswa gakin,” lanjut Rachman.
Saat naik dari kelas satu, Fitri diminta membeli seragam baru. Karena
tak mampu, siswa miskin ini tak mengenakan seragam baru saat upacara
sekolah. Badge atau tanda lokasi pada lengan seragam masih badge lama,
yang tertulis “kelas satu”. Tanda ini sebagai pembeda jenjang kelas.
Karena ketahuan gurunya, anak penarik becak ini dijemur bersama belasan
siswa lain.
Sebelumnya, Fitri mengaku sudah mencoba menjelaskan kepada pihak
sekolah saat kenaikan kelas bahwa orangtuanya belum mampu membelikan
seragam lengkap. Tetapi, penjelasannya itu tidak dipedulikan, hingga
akhirnya ia dihukum saat upacara berlangsung.
Sementara itu, hingga saat ini, baik pihak sekolah maupun pihak Dinas
Pendidikan Surabaya belum bisa dikonfirmasi lebih jauh mengenai aturan
baku seragam sekolah tersebut.
“Sebaiknya ke Kepala Dinas saja,” ujar Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Surabaya, Eko Setyaningsih.